Jumat, 10 Desember 2010

Sekolah di SMK Yuukkk.....

Selama ini anggapan orang ketika mendengar SMK adalah kedepannya hanya berkecimpung di pasar tenaga kerja kelas rendah. Seperti pegawai bengkel, atau buruh pabrik yang notabenya menerapkan kontrak kerja sementara (outsorcing). Fakta sebaliknya terjadi di dunia high school lainnya selain SMK. Apabila lulusan SMA lebih dipersiapkan untuk kuliah maka sebaliknya lulusan SMK secara tidak langsung diproyeksikan untuk siap bekerja. Berebeda halnya lagi dengan lulusan perguruan tinggi yang sering disebut lulusan siap latih. Mahasiswa lulusan Strata Satu pada dasarnya tidak diprioritaskan terjun langsung di dunia kerja sesuai posisi. Dalam arti, mereka para first guardiate hampir dipastikan diberikan pelatihan terlebih dahulu.
Kejadian di lapangan mengindikasikan SMK hanya diperuntukkan bagi orang tua yang mungkin dapat disebut kurang mampu. Seorang anak yang disekolahkan di SMK secara garis besar mempunyai latar belakang keluarga sederhana bahkan dibawahnya. Mereka beranggapan bahwa memasukkan anaknya ke sekolah kejuruan akan meringankan beban para orang tua. Untuk tidak melanjutkan anaknya menimba ilmu lebih lanjut ke perguruan tinggi karena keterbatasan biaya. Pandangan – pandangan seperti ini tidak dipungkiri terjadi di lingkungan kita. Terlebih kota – kota besar di Indonesia, sikap mental masyarakat secepatnya harus dirubah. Walaupun terkesan berat karena memang sulit merubah apa yang sudah tertanam dan berakar dalam pemikiran. Tetapi bukan hal mustahil mengingat prestasi – prestasi hasil para civitas SMK. Disini letak perhatian Pemerintah menjadi penting ketika karya – karya lulusan SMK bisa diakatakan mempunyai daya saing.
Banyak SMK di Indonesia telah berhasil menciptakan kemandirian, diantaranya berhasil menciptakan produk kelas atas seperti merakit laptop, sepeda motor, mobil dengan energi alternatif, bahkan para siswa SMK sudah ada yang membuat pesawat. Dari sekian karya yang telah diciptakan, semestinya lulusan SMK menjadi ujung tombak perekonomian bangsa. Kita tidak perlu khawatir dengan datangnya era CAFTA. Seandainya peran SMK dioptimalkan sejak dulu. Selain karena keahlian khusus yang include di dalam diri lulusan SMK. Mereka pasti dapat menciptakan produk yang kompetitif, di samping mereka juga dimungkinkan membuka kesempatan kerja baru. Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang bertumpu pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah pada penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten atau Kota. Harus merupakan satu kesatuan yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Terutama pada level mikro yaitu meningkatkan pendapatan daerah. Secara spesifik lulusan SMK dapat ditempatkan di sembilan sektor ekonomi pembentuk PDRB.
Kembali ke persoalan, terjadi benturan dan berbanding terbalik saat kita melihat percepatan yang dilakukan SMK. Seolah hanya sebuah fatamorgana segudang prestasi yang telah ditorehkan. Menjadi pertanyaan besar, efektifkah edukasi yang diterima masyarakat akan kemajuan tersebut. Perlu diketahui, Indonesia sampai saat ini hanya memiliki 0,2 % pengusaha. Sewajarnya kita membutuhkan 2 % wirausahawan dari agregat penduduk untuk mendorong perekonomian secara makro. Melihat data terakhir dari kementrian pendidikan nasional, jumlah SMK di Indonesia tercatat sebanyak 9.161. Angka tersebut merupakan 51 % dari total sekolah menengah di Indonesia.
Artinya disini, masih ada range 19 % untuk target yang dicanangkan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Departemen Pendidikan Nasional. Sebagaimana dirilis Bapekki Depkeu (2007), besaran lembaga pendidikan yang bersifat kejuruan akan diperbanyak. Yaitu dengan prosentase 70 % dari lembaga pendidikan yang ada. Sedangkan sisanya 30 % diisi lembaga pendidikan umum. Benar jika terjadi indikasi kenaikan menuju proses standar (70%). Namun itu semua dengan catatan, lulusan SMK yang punya capability terserap di bursa tenaga kerja, maupun membuka usaha. Sekali lagi, keseimbangan dimanapun harus diberlakukan. Demand tenaga kerja terampil sudah sepantasnya diciptakan pemerintah. Dilakukan melalui jalur mekanisme pasar dengan sedikit campur tangan pemerintah.
Sebetulnya pemerintah bukan tanpa kebijakan. Wacana yang dicanangkan pemerintah begitu baik ketika mampu dijalankan. Seperti tertuang pada undang-undang Pendidikan, Direktorat PSMK. Strategi induk dalam Renstra 2005 – 2009, yaitu:
1.    Mengembangkan Mutu dan Relevansi SMK dan Membina Sejumlah SMK yang Bertaraf Internasional.
2.    Perluasan dan Pemerataan Akses dengan Tetap Memperhatikan Mutu.
3.    Meningkatkan Manajemen SMK dengan Menerapkan Prinsip Good Governance.
Konsep diatas sangat menjanjikan peningkatan mutu secara berkala. Dengan pelaksanaan yang sesuai program tersebut bukan tidak mungkin saat ini kita ditakuti setidaknya di kawasan asia tenggara. Untuk kesekian kalinya ini hanyalah di atas kertas. Sampai sekarang hanya beberapa point saja yang terbukti. Itupun sifatnya eksternal, dalam arti pengembangan diri SMKnya saja. Hal ini baik, tetapi apa gunanya memperbaiki diri sendiri tanpa dibarengi sosialisasi yang progressif terhadap masyarakat. Perluasan dan pemerataan akses seperti di tuliskan belum terapresiasi langsung. Akses menjadi sesuatu langkah krusial, karena menyangkut jenjang karir para lulusan SMK. Bagaimana terlasurkannya mereka pada pasar tenaga kerja. Tentunya tidak tersalurkan sebagai buruh pabrik semata.

Sekapur Sirih :::

Saya harus mengatakan bahwa isi blog ini mencerminkan pengetahuan dan kebijaksanaan kolektif.
Persis yang dikatakan oleh Goethe (
Johann Wolfgang von Goethe) dalam percakapannya dengan ilmuwan Swiss, Frederic Soret, Pada tanggal 17 Februari 1832 ::
"Siapakah saya ini? Apa yang telah saya lakukan? Saya telah mengumpulkan dan memanfaatkan segala sesuatu yang telah saya dengar dan saya alami. Karya saya telah disebarluaskan oleh ribuan orang yang berbeda-beda--> orang bijak dan bodoh, jenius dan dungu, tua dan muda. Mereka semua menawari saya keahlian dan cara hidup mereka masing-masing. Sering kali, saya ambil hasil-hasil yang dikembangkan orang lain. Karya saya adalah karya kolektif, dan membawa nama Goethe."