Rabu, 06 Juni 2012

Salah Urus Sumber Daya Energi di Indonesia

A.    Latar Belakang Masalah
Sumber daya energi merupakan aset sumber daya alam Indonesia yang patut dipertahankan dan diberdayakan secara kesinambungan. Bahkan implikasi panjang dari kemampuan suatu negara menjaga kelangsungan energi adalah cermin kekuatan pertahanan negara (Wiryadi, 2007). Jika melihat konflik – konflik yang terjadi di Timur Tengah belakangan ini bukan persoalan asing apabila mengatakan kebutuhan akan sumber daya energi memang memberikan pengaruh cukup kuat (Harmen, 2010). Fakta disana memperlihatkan bagaimana sumber daya energi saat ini sudah seharusnya diberikan perhatian khusus. Dalam kaitan pengelolaan, agar setidaknya mampu memasok kebutuhan dalam negeri.
Hal utama yang mendasari bahwa Indonesia salah dalam mengurus sumber daya energi adalah terlalu banyaknya eksplorasi dilakukan. Entah itu untuk kepentingan asing maupun keperluan ekspor yang hasilnya hanya dinikmati sebagian pihak. Tanpa mempertimbangkan ketersediaan sumber daya energi kita yang sebetulnya banyak tetapi terbatas. Mengapa dikatakan demikian, kerana selama ini ada paradigma yang salah tentang keberadaan sumber daya alam yang ada di Indonesia. Anggapan bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam kaya merupakan stigma tidak benar. Misalkan cadangan minyak bumi, bangsa ini mempunyai cadangan sekitar 3,75 juta barel per hari (bph). Tetapi nyatanya itu hanya 0,3% dari total cadangan minyak bumi dunia. Batubara yang tersedia menyentuh angka 4,328 miliar ton atau hanya 0,52% dari cadangan batubara dunia. Tidak berdeba dengan gas alam, bumi pertiwi mengandung cadangan sebesar 1,38 triliun meter kubik. Data ini ternyata hanya sekitar 1,72% cadangan dunia (Ganinduto, 2010).
Jika dibandingkan penduduk Indonesia yang menduduki peringkat terbesar ketiga dunia setelah Tiongkok dan India. Tidak berlebihan jika banyak pakar mengatakan Indonesia sudah salah bertindak mengurusi sumber daya energi. Artinya disini cadangan energi kita terbatas. Untuk memenuhi pasokan gas sektor industri saja pemerintah sebagai pemegang otoritas hajat hidup orang banyak tidak mampu memenuhi permintaan. Untuk kesekian kalinya pemerintah lebih mementingkan mengekspor gas alam tersebut dari pada urusan dalam negeri. Alasan klasik pemerintah selain masalah infrastruktur ialah pemerintah berusaha memperkuat devisa Negara (Maemunah, 2005). Terjadi kesalahan yang fatal ketika negara – negara di Timur Tengah berjuang keras mempertahankan kawasan lumbung energi. Namun Indonesia justru sebaliknya, pemegang kekuasaan atas sumber daya energi berlomba untuk mengikat  kontrak  yang merugikan. Seperti yang terjadi di Kalimantan Timur, Uni Emirat Arab (UEA) memiliki usaha tambang berupa batubara dengan kepemilikan saham mencapai 50% (Annisaa, 2010). Jadi pantaslah jika kita mengasumsikan bahwa permasalahan inti penanganan energi terletak pada pihak yang mempunyai mandat yaitu pemerintah.


B.    Rumusan Masalah

Berdasarkan masalah diatas, maka permasalahan yang akan menjadi fokus pembahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Sejauh apa miss management yang dilakukan Indonesia dalam mengurusi atau mengelola sumber daya energi?

C.    Thesis Statement

Negara (pemerintah) kurang serius dalam mengelola sumber daya energi dan belum seperti yang diharapkan. Selalu berfikir jangka pendek agar pertumbuhan ekonomi terlihat tinggi. Padahal perencanaan jangka panjang merupakan modal utama pembangunan sumber daya alam.

D.    Tujuan
Publikasi tulisan ini diharapkan memberikan pemahaman baru tentang ketersediaan sumber daya energi di Indonesia. Selain itu untuk memberitahukan masyarakat bahwa para pihak terkait pengelola energi kurang memperhatikan kepentingan akan kebutuhan dalam negeri. 

E.    Analisis

Masalah mendasar yang selalu menjadi current issue energi adalah persoalan kelistrikan. PT.PLN (Persero) yang merupakan perusahaan resmi bentukan pemerintah perihal pelistrikan nasional. Sudah seharusnya berbenah diri melakukan reformasi mekanisme tentang peningkatan kualitas kinerja. Kondisi geografis negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dan kepulauan, tersebar dan tidak meratanya pusat – pusat beban listrik, rendahnya tingkat permintaan listrik di beberapa wilayah, tingginya biaya marginal pembangunan sistem supply energi listrik (Ramani, 2004). Serta terbatasnya kemampuan finansial, merupakan faktor – faktor penghambat penyediaan energi listrik dalam skala nasional. Keterjangkauan listrik nasional baru menghasilkan nisbah elektrifikasi (electrification ratio) 65%. Artinya, 35% penduduk masih belum mendapatkan energi listrik. Krisis listrik tidak akan separah sekarang jika pembangkit yang ada beroperasi optimal. Kuncinya, keberlanjutan pasokan energi primer yang murah (gas dan batu bara), pemanfaatan pembangkit swasta, serta pemeliharaan pembangkit dan jaringan transmisi atau distribusi (Basri, 2009). Menurut Subroto (2011), mantan Menteri Pertambangan dan Energi di era Orde Baru. Mengatakan saat ini masih ada beberapa sumber daya energi dan potensi lain belum dimanfaatkan. Maksudnya, pemerintah layaknya menyukai pemanfaatan energi bersifat monoton, tidak kreatif memaksimalkan potensi yang ada.
Semua masukan baik tersebut perlu terakomodir oleh suatu kebijakan yang efektif. Agar segala hal tentang sumber daya energi berpihak kepada sektor dalam negeri. Berkaitan dengan regulasi pemerintah, tahun lalu terbit keputusan tentang aturan alokasi dan pemanfaatan gas bagi kebutuhan domestik. Muncul Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 3 Tahun 2010. Namun, sangat disayangkan karena isi dari keputusan tersebut hanya memprioritaskan alokasi gas untuk memicu produksi minyak dan gas bumi nasional. Memang keperluan industri migas tidak bisa dikesampingkan. Namun alangkah baiknya pemerintah memperhatikan kebutuhan gas yang lebih mendesak. Yaitu, energi primer (gas) untuk keberlangsungan aktifitas industri lain seperti industri pupuk, industri manufaktur dan industri listrik.
Dimana industri ini begitu erat kaitannya dengan kebutuhan publik. Padahal, hampir setiap tahun industri – indutri itulah yang mengeluhkan kekurangan pasokan gas. Karena produksi gas domestik diatas 50% merupakan kontrak ekspor. Misalkan industri pupuk, Impact yang dirasakan pastinya petani. Berupa harga ongkos produksi melonjak. Karena pupuk langka dan harganya terus meningkat. Kerugian triliun rupiah telah diteriakkan sejak beberapa tahun belakangan oleh kalangan industri akibat dilarikannya gas ke luar negeri. Bandingkan dengan industri migas yang selama ini dinilai belum memasuki tahap kritis. Para ahli energi sepakat menyatakan industri migas Indonesia masih bisa menggunakan gas CO2 sebagai bahan bakar guna beroperasi. Menganalisis kebijakan tadi, dapat diartikan bahwa pemerintah benar menyetop aliran ekspor gas yang sudah jatuh tempo. Disini pemerintah memberikan harapan baru kepada masyarakat, karena sebelumnya lebih dari 60% produksi gas diekspor.
Tetapi disisi lain, kebijakan pemerintah rupanya setengah hati. Karena alokasi domestik itu disalurkan ke tangan yang belum saatnya menerima. Mungkin tepat menyebutkan pemerintah tidak on the right track dalam hal distribusi kebijakan. Kesalahan pemerintah dalam mengurus sumber daya energi terlihat jelas dari pengusaan pihak asing terhadap kepemilikan aset berharga bangsa berbentuk batubara. Sebagai contoh Malaysia Smelting Corporation Bhd (MSC) dan Australia Oriental Minerals NL (AOM) mengakuisisi 99% saham perusahaan tambang batubara PT Asiatic Coal Nusantara (ACN). Dari Asiatic Coal Ptes Ltd senilai US$ 6,75 juta atau sekitar Rp 62 miliar pada tahun 2008. ACN merupakan perusahaan tambang batubara yang memiliki lahan konsesi sekitar 4.005 hektare di Kalimantan. ACP diperkirakan memiliki cadangan batubara berkalori tinggi sekitar 7.500 sampai 8.300 per kg. Selain di batubara, MSC terlibat dalam usaha pertambangan timah di Indonesia. Perusahaan smelter asal negeri jiran Malaysia itu menguasai 75% saham PT Koba Tin, pemegang kontrak karya (KK) untuk masa kontrak 10 tahun. Dengan luas wilayah kerja 41.680 ha di Bangka Tengah dan Bangka Selatan, Bangka Belitung. Inilah waktunya menyelamatkan harta karun bangsa yang masih ada.

F.    Kesimpulan
Pemaparan tulisan diatas meyimpulkan bahwa salah urus pemerintah sudah berada pada titik nadir. Rakyat Indonesia sudah sewajarnya memberikan peringatan keras terhadap pemerintah. Karena, apabila hal ini dibiarkan terus menerus. Bukan tidak mungkin seluruh wilayah potensial sumber energi akan digali sampai batas terakhir oleh asing. Negara tidak boleh selamanya menganut sistem kapitalisme. Terbukti jelas bahwa pemerintah tidak punya bargaining power dihadapan pemilik modal asing. Secepatnya pemerintah harus melakukan evaluasi jika permasalahan energi memang benar – benar ingin diatasi. Maka perumusan kebijakan tanpa mengikutsertakan evaluasi (assessment) dan umpan balik dari bawah (pihak yang bersinggungan langsung), hanya akan menimbulkan sistem kekuasaan yang otoriter dan totaliter (Arifin, 2001).
Dua hal penting agar kebijakan mendatang mempunyai posisi menguntungkan domestik. Pertama, perlunya perbaikan tata niaga ekspor energi seperti batubara. Berdasarkan penentuan wajib pasok untuk dalam negeri (DMO). Didalamnya mengatur larangan ekspor batubara kalori tertentu agar konsumen domestik mendapat harga lebih murah. Tidak mengikuti harga internasional (Evy, 2010). Paling penting pemerintah melalui tangan kananya Kementrian ESDM mencetak blue print. Yang terintegrasi manajemen sumber daya energi berkesinambungan dengan arah kepentingan dalam negeri.

G.    Daftar Pustaka
  • Annisaa, Nur. (2010) Sumber Daya Energi dan Krisis Pangan di Indonesia. (online). diakses pada tanggal 3 Mei 2011, dari http://suarapembaca.detik.com/read/2010/02/24/075445/1305553/471/sumber-daya-energi-dan-krisis-pangan-di-indonesia
  • Arifin, Bustanul. Ph.D. (2001) Pengelolaan Sumber Daya Alam Indonesia. Jakarta: Erlangga.
  • Basri, Faisal. (2009) Krisis Listrik Karena Pemerintah Salah Urus. (online). diakses pada tanggal 3 Mei 2011, dari http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/11/16/06083411/Krisis.Listrik.karena.Pemerintah.Salah.Urus
  • Evy. (2010) Tata Niaga Batu Bara Perlu Dievaluasi. (online). diakses pada tanggal 3 Mei dari, http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=626
  • Ganinduto, Dito. (2010) Kebijakan Energi Nasional Tidak Konsisten. (online). diakses pada tanggal 3 Mei 2011, dari http://bataviase.co.id/node/410381
  • Harmen. (2010) Keamanan Energi, Tulang Punggung Pertahanan. (online). diakses pada tanggal 3 Mei 2011, dari http://www.wilayahpertahanan.com/forum-pertahanan/keamanan-energi-tulang-punggung-pertahanan
  • Maemunah, Siti. (2005) JATAM: Krisis BBM Disebabkan Mismanajemen Sektor Energi. (online). diakses pada tanggal 3 Mei 2011, dari http://m2.kapanlagi.com/h/0000072751.html
  • Ramani. (2004) Pengembangan Energi Terbarukan Sebagai Energi Aditif Indonesia. (online). diakses pada tanggal 3 Mei 2011, dari http://www.energi.lipi.go.id/utama.cgi?artikel&1101089425&9
  • Subroto. Prof. (2011) Mantan Menteri Perdagangan & Energi: Kekayaan Alam dan Energi Salah Urus. (online). diakses pada tanggal 3 Mei 2011, dari http://www.menitriau.com/headline.php?go=news&id=2535
  • Wiryadi. Ir. (2007) Sumber Daya Energi Dalam Rangka Mendukung Ketahanan Nasional. (online). diakses pada tanggal 3 Mei 2011, dari http://buletinlitbang.dephan.go.id/index.asp?vnomor=18&mnorutisi=1



0 komentar :

Posting Komentar

tinggalkan jejak anda::::

Sekapur Sirih :::

Saya harus mengatakan bahwa isi blog ini mencerminkan pengetahuan dan kebijaksanaan kolektif.
Persis yang dikatakan oleh Goethe (
Johann Wolfgang von Goethe) dalam percakapannya dengan ilmuwan Swiss, Frederic Soret, Pada tanggal 17 Februari 1832 ::
"Siapakah saya ini? Apa yang telah saya lakukan? Saya telah mengumpulkan dan memanfaatkan segala sesuatu yang telah saya dengar dan saya alami. Karya saya telah disebarluaskan oleh ribuan orang yang berbeda-beda--> orang bijak dan bodoh, jenius dan dungu, tua dan muda. Mereka semua menawari saya keahlian dan cara hidup mereka masing-masing. Sering kali, saya ambil hasil-hasil yang dikembangkan orang lain. Karya saya adalah karya kolektif, dan membawa nama Goethe."