Rabu, 18 Juli 2012

Permasalahan dan Peluang Peningkatan Kualitas Tenaga Kerja Sektor Perikanan di Indonesia


A.    Latar Belakang Masalah
Sebelum lebih jauh membahas tentang tenaga kerja sektor perikanan di Indonesia. Penulis ingin memaparkan sedikit tentang tenaga kerja perikanan yang dalam tulisan ini membatasi pada nelayan. Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut. Baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun pengembangan melalui cara budidaya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2001).
Indonesia mempunyai potensi lestari sektor perikanan begitu besar. Paling tidak ada sekitar 6,17 juta ton per tahun, terdiri atas 4,07 juta ton di perairan Nusantara yang hanya 38% dimanfaatkan. 2,1 juta ton per tahun berada di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Potensi ini pemanfaatannya juga baru 20%. Berarti ada 7,5% potensi dunia berada di perairan laut Indonesia. Sedangkan disisi lain, berkisar 24 juta hektar perairan laut dangkal Indonesia cocok untuk budi daya laut (mariculture). Bernilai ekonomis tinggi, dengan potensi produksi 47 juta ton per tahun (Tancung, 2011). 
Melihat secara agregat nilai ekonomi total dari produk perikanan dan produk bioteknologi perairan Indonesia sangatlah diluar dugaan. Diperkirakan mencapai 82 miliar dolar AS per tahun. Hampir 70% produksi minyak dan gas bumi Indonesia berasal dari kawasan pesisir dan laut (Dahuri, 2004). Mencermati peristiwa tadi sungguh ironis mendengar kabar bahwa nelayan Indonesia selalu terjebak dalam garis kemiskinan. Hal tadi sebetulnya merupakan peluang termasuk tantangan bagi tenaga kerja sektor perikanan untuk berubah lebih sejahtera. Ada tiga benteng penghalang utama penyebab gagalnya nelayan show up merubah nasib. Diawali oleh masalah keterbatasan alat tangkap, ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, pemasaran (market glut), dan pengadaan modal (Dahuri, 2000).


B.    Rumusan Masalah
Berdasarkan masalah diatas, maka fokus pembahasan dalam tulisan ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.    Sudah sejauh apa permasalahan yang dihadapi nelayan di Indonesia?
2.    Reformasi pembangunan seperti apa yang dapat dilakukan pemerintah, agar terjadi peningkatan kualitas tenaga kerja sektor perikanan?

C.    Thesis Statement

Mencermati begitu besarnya potensi ekonomi kelautan di Indonesia. Terjadi paradoks, ketika melihat mayoritas nasib nelayan negeri ini yang masih terjebak dalam garis kemiskinan. Masalah pokok nelayan yang selama ini jadi hambatan untuk keluar dari garis kemiskinan (near poor) adalah keterbatasan alat tangkap, ketergantungan terhadap musim sangat tinggi, pemasaran (market glut), dan pengadaan modal (Dahuri, 2000). Pada gilirannya hanya menempatkan nelayan kepada posisi yang lemah. Maka, perlu adanya reformasi kebijakan pembangunan sektor perikanan yang bersifat urgensi dengan keberpihakan kepada nelayan.

D.    Tujuan
Publikasi tulisan ini diharapkan mampu memaparkan kondisi tenaga kerja sektor perikanan secara riil. Serta memaparkan peluang dan tantangan potensi ekonomi kelautan yang begitu besar. Sehingga dapat dimanfaatkan oleh tenaga kerja sektor perikanan di Indonesia sebagai bisnis yang menguntungkan. (38 Kata)

E.    Analisis
Survei dari Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Republik Indonesia pada tahun 2009 menyebutkan bahwa persentase penduduk miskin Indonesia di daerah kota adalah 10,72%, sementara di daerah desa adalah 17,35%. Sedikitnya 60% penduduk Indonesia tinggal dan beraktivitas di pesisir. Dengan jumlah nelayan Indonesia berkisar 2,7 juta jiwa dan 80% diantaranya nelayan skala kecil dan tradisional. Mereka memiliki kapasitas kapal di bawah 30 gross ton (GT). Artinya masih terdapat 17,35% penduduk miskin di daerah desa pesisir Indonesia dari total jumlah penduduk 230 juta jiwa (Furqon, 2011).
Masalah umum yang mendominasi nasib nelayan Indonesia ialah keterbatasan teknologi penangkapan (alat tangkap) sehingga wilayah operasi pun terbatas, hanya disekitar perairan pantai. Di samping juga karena nelayan masih terjebak oleh ketergantungan musim (Sinulingga, 2011). Tentunya persoalan ini membuat nelayan tidak bisa melaut setiap saat. Terutama pada musim ombak yang berlangsung selama lebih dari satu bulan. Dampaknya, selama itu juga nelayan tidak mendapatkan penghasilan apa – apa. Kondisi tersebut jelas sangat kurang menguntungkan nelayan. Karena secara riil rata – rata pendapatan per bulan menjadi lebih kecil. Pendapatan yang diperoleh pada saat musim panen ikan, akan habis dikonsumsi pada waktu paceklik datang (Mutis, 2005).
Akses nelayan terhadap pengadaan modal dan pemasaran begitu sulit diwujudkan. Kurangnya pranata ekonomi yang menyentuh masyarakat nelayan dikesampingkan pemerintah (Linrung, 2011). Untuk mengatasi permasalahan tersebut, nelayan melakukan terobosan marketing dengan cara mengandalkan tengkulak guna meningkatkan hasil pendapatannya. Serta meminjam uang kepada pemilik modal untuk pengadaan alat tangkap. Akan tetapi, apa yang diperjuangkan nelayan ternyata malah menjebak mereka dalam ketergantungan dengan pihak lain. Sekaligus menempatkan posisi mereka menjadi sangat lemah. Nelayan justru terhimpit hutang kepada pemilik modal, disamping tengkulak yang memberikan harga murah hasil tangkapan. Permasalahannya adalah selain minimnya hasil tangkapan dengan alat tangkap sederhana (tradisional). Sistem bagi hasil yang diberlakukan oleh para juragan modal, dapat dikatakan kurang menguntungkan nelayan buruh (Subri, 2007). Siklus ini terus berlangsung dan menyebabkan nelayan terperangkap di garis kemiskinan.
Dalam kenyataannya banyak bermunculan masalah struktural penghambat pengembangan karir masyarakat pesisir (khususnya nelayan). Selain keterbatasan alat tangkap yang menyebabkan wilayah operasi minim. Menurut Subri (2007), setidaknya ada dua permasalahan yang dihadapi nelayan. Pertama, permasalahan bersifat teknis. Artinya, kemampuan memasarkan produk dengan harga menguntungkan baik untuk pasar dalam negeri maupun ekspor masih sangat lemah. Harga produk – produk perikanan sangat cepat berubah (fluktuatif), dan sering mengalami market glut. Dimana suatu kondisi pasar yang harga jual suatu komoditasnya menurun drastis ketika pasokan (supply) komoditas produk tersebut melimpah. Sebaliknya, harga jual bisa membaik manakala pasokannya kecil.
Kedua, belum jelasnya kebijakan tentang kredit murah dan lunak bagi para nelayan dalam hal penyediaan modal. Walaupun ada jumlahnya sangat terbatas, tidak menyentuh kebutuhan inti usaha nelayan. Baru – baru ini pemerintah yang dikomandoi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberikan bantuan berupa materil kepada nelayan, melalui PNPM Mandiri, KKP mengalokasikan Rp100 miliar untuk dibagikan pada 1.000 Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang tersebar di Indonesia (Anonim, 2011). Setiap KUB diberi bantuan langsung Rp100 juta. Disini letak ketidakcermatan pemerintah, fakta di lapangan membuktikan. Untuk satu nelayan tradisional saja diperlukan kapal ikan dan alat tangkap yang harganya rata – rata Rp 200 juta (Sobri, 2007).
Banyak kasus pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah selain contoh tadi. Dengan menjadikan nelayan sebagai objek (Kusnadi, 2002). Ini dilakukan misalnya dalam bentuk memberikan bantuan (pinjaman) alat tangkap yang tidak mengacu pada kebutuhan. Melainkan, merupakan paket yang sudah ditentukan dari atas. Karakternya cenderung seragam antar berbagai daerah. Sistem bantuan yang sifatnya top down ini, mengakibatkan alat bantuan tidak efektif. Seharusnya alat bantuan itu tidak semata – mata ditentukan dari atas. Melainkan melalui proses dialog dengan masyarakat setempat. Jadi, nelayan disini diposisikan sebagai subjek dalam pembangunan perikanan. Sehingga jenis bantuan yang diberikan akan betul – betul sesuai dengan yang dibutuhkan nelayan.
Dengan potensi kelautan Nusantara yang meyakinkan, seharusnya dapat dimanifetasikan sebagai peluang tenaga kerja sektor perikanan. Tidak berlebihan jika potensi perikanan yang ada dapat dimanfaatkan nelayan untuk merubah kondisi ekonomi mereka yang saat ini lemah. Berarti dalam banyak kasus telah terjadi kesalahan sistem yang melekat di sektor perikanan. Dua pembahasan tentang persoalan serta potensi kelautan Indonesia diatas. Dapat diasumsikan bahwa permasalahan nelayan yang dialami saat ini mampu diatasi. Apabila terjadi suatu reformasi arah pembangunan sektor perikanan.

F.    Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh terkait permasalahan dan peluang Nelayan. Guna meningkatkan kualitas adalah reformasi kebijakan pembangunan perikanan. Teridentifikasi reformasi yang disarankan berupa:
1.    Reformasi sumber daya manusia
Pemerintah memfokuskan pemberdayaan masyarakat nelayan, melalui pendekatan peningkatan kemampuan masyarakat (capacity building). Bisa terealisasi dengan diadakan pelatihan, bimbingan intens setiap periode tertentu dan yang pasti koordinasi antar pihak terkait.
2.    Reformasi kelembagaan (institution transformers)
Harus ada perubahan mendasar sehubungan permasalahan nelayan yang selama ini mengeluhkan keterikatan kepada pemilik modal dan  pemasaran (agar tidak terperangkap pada tengkulak). Seperti penyediaan koperasi dan bank – bank daerah khusus untuk keperluan usaha nelayan, dalam wadah pendekatan komunitas (community development approach) serta memakai pola kemitraan (Linrung 2011).
3.    Reformasi ekonomi
Merumuskan kerangka kerja untuk mengembangkan proses perencanaan strategis, yang terpadu bersama seluruh stakeholder (pemerintah pusat, pemerintah daerah, perguruan tinggi, LSM, nelayan). Dengan fokus menjadikan nelayan (khususnya nelayan buruh dan perorangan) subjek pembangunan. Artinya, terjadi perubahan paradigma pembangunan ekonomi. Yakni, pemerintah lebih mendukung pada resource based industry.



G.    Daftar Pustaka
  • Dahuri, Rokhmin. (2000) Pendayagunaan Sumber Daya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Jakarta: LISPI.
  • Dahuri, Rokhmin. (2004) “Kebijakan Pemerintah Dalam Pembiayaan Usaha Mikro — Kecil Bidang Kelautan dan Perikanan”. Paper. Jakarta: USAKTI, 23 Juli 2004.
  • Furqon. (2011) Hari Nelayan Indonesia, Sebuah Momentum Kebangkitan Nelayan Indonesia. (online). diakses pada tanggal 5 Mei 2011, dari http://fpik.unpad.ac.id/archives/1103 
  • Imron, Masyuri (ed). (2001) Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Yogyakarta: Media Pressindo.
  • Kusnadi. (2002) Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan. Jakarta: PMB — LIPI.
  • Linrung, T. (2011) Nelayan, Kaum Termarginal di Negeri Kepulauan Indonesia. (online). diakses pada tanggal 5 Mei 2011, dari http://koranmuslim.com/2011/tamsil-linrung-nelayan-kaum-termarginal-di-negeri-kepulauan-indonesia/
  • Mutis, Thoby, Dr. Prof. (2005) Ekonomi Kelautan. hal. xi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
  • Sinulingga, A, N. (2011) Nelayan dan Perubahan Iklim. (online). diakses pada tanggal 5 Mei 2011, dari http://kampus.okezone.com/read/2011/04/05/95/442696/nelayan-dan-perubahan-iklim
  • Subri, Mulyadi, Drs. M.Si. (2007) Ekonomi Kelautan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.
  • Tancung, A, B. (2011) ACFTA dan Perikanan Indonesia. (online). diakses pada tanggal 5 Mei 2011, dari http://www.fajar.co.id/read-20110504222130-acfta-dan-perikanan-indonesia
  • ____________. (2011) Pemerintah Gelontorkan Rp100 Miliar untuk Nelayan. (online). diakses pada tanggal 5 Mei 2011, dari http://www.ujungpandangekspres.com/view.php?id=65496

0 komentar :

Posting Komentar

tinggalkan jejak anda::::

Sekapur Sirih :::

Saya harus mengatakan bahwa isi blog ini mencerminkan pengetahuan dan kebijaksanaan kolektif.
Persis yang dikatakan oleh Goethe (
Johann Wolfgang von Goethe) dalam percakapannya dengan ilmuwan Swiss, Frederic Soret, Pada tanggal 17 Februari 1832 ::
"Siapakah saya ini? Apa yang telah saya lakukan? Saya telah mengumpulkan dan memanfaatkan segala sesuatu yang telah saya dengar dan saya alami. Karya saya telah disebarluaskan oleh ribuan orang yang berbeda-beda--> orang bijak dan bodoh, jenius dan dungu, tua dan muda. Mereka semua menawari saya keahlian dan cara hidup mereka masing-masing. Sering kali, saya ambil hasil-hasil yang dikembangkan orang lain. Karya saya adalah karya kolektif, dan membawa nama Goethe."