Jumat, 20 September 2013

[Makalah] Biaya Sosial Sebagai Jawaban Eksternalitas dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam

BAB I. PENDAHULUAN

Biaya sosial dalam pengelolaan sumber daya alam merupakan langkah efektif untuk memecahkan persoalan eksternalitas. Jadi, masalah yang kita hadapi dalam kaitannya dengan tindakan – tindakan yang memiliki dampak yang merugikan bukannya hanya bagaimana membatasi tindakan mereka yang menimbulkan kerugian tersebut. Apa yang harus diputuskan ialah apakah manfaat dari pencegahan timbulnya kerugian itu lebih besar dari pada kerugian yang diderita siapa saja dan dimana saja sebagai akibat pencegahan tindakan yang menimbulkan kerugian tersebut. Pembicaraan awal mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap biaya sosial, akhirnya dilimpahkan kepada pemerintah untuk mengaturnya secara legal. Disisi lain ada yang kita kenal dengan invisible hand yaitu pengaturan oleh tangan yang tidak tampak akan membawa perekonomian kearah efisiensi yang tinggi. Tetapi yang terakhir itu dapat dimengerti bila dalam perekonomian terdapat biaya privat dan tidak ada biaya sosial. Dengan kata lain bila diantara biaya privat dan biaya sosial identik sifatnya.
Pada materi – materi sebelumnya sudah terlihat bahwa permasalahan eksternalitas selalu menemui jalan buntu. Atau kita tidak pernah menemukan solusi untuk menjawab pertanggung jawaban atas kerugian. Maka pembahasan akan dimulai dari eksternalitas terjadi jika suatu kegiatan menimbulkan manfaat dan atau biaya bagi kegiatan atau pihak diluar peaksana kegiatan tersebut. Eksternalitas dalam biaya inilah yang disebut pula sebagai biaya sosial. Yang menjadi masalah atau pertanyaan ialah siapa yang harus menanggung biaya sosial tersebut. Apakah biaya tersebut harus ditanggung oleh pihak yang menimbulkan korban atau biaya itu ditanggung oleh pihak yang dirugikan/ pemerintah. Untuk menjawab pertanyaan ini beberapa ahli memberikan jawabannya. Misalkan ronaldcoase beliau mengambl contoh kegiatan usaha yang menimbulkan dampak yang merugikan bagi pihak lain contohnya adalah pabrik yang menimbulkan asap yang mengotori dan mengganggu lingkungan hidup sekitar pabrik tersebut. Pada umumnya para ekonom menyetujui agar pabrik yang menyebabkan polusi asap itulah yang harus dikenai kewajiban untuk mencegah pencemaran itu atau ia diwajibkan membayar pajak sebesar kerugian yang ditimbulkannya atau pabrik tersebut dipindahkan keluar daerah pemukiman. Namun coase menyatakan bahwa upaya pemecahan masalah seperti disebut diatas itu kurang tepat. Sesungguhnya ada hubungan timbale balik dalam penciptaan dampak yang sufatnya merugikan itu.
Apabila suatu perusahaan A menimbulkan pencemaran dan merugikan perusahaan B maka biasanya kita cenderung menginginkan agar perusahaan yang merugikan perusahaan lain itu (A) yang dikenai suatu beban atau semacam hukuman. Hal seperti ini sebenarnya keliru,karena dengan mencegah terjadinya kerugian pada B sesungguhnya kita merugikan A. masalahnya sekarang adalah bagaimana agar kerugian itu hendaknya tidak semakin serius, sebagai contoh apabila terdapat sebuah perusahaan kontraktor yang mendirikan bangunan untuk hotel maka mau tidak mau kontraktor tesebut membuat kebisingan atau menimbulkan polusi suara. Yang jelas ini akan mengganggu seorang dokter yang praktek di dekat lokasi bangunan tersebut dalam memberikan pengobatan kepada pasiennya. Untuk mengurangi kerugian dokter tersebut ia akan membebankan kerugian atau korban yang harus dipikul kepada si kontraktor. Yang menjadi masalah disini ialah apakah sungguh bermanfaat membebankan kerugian atau membatasi kegiatan kontraktor tersebut yang berarti memberikan kesempatan kepada dokter itu untuk bekerja lebih baik tetapi dengan mengorbankan menurunnya produktivitas kontraktor.
Biaya eksternal ini juga timbul dengan adanya penebangan hutan, karea banyak pengusaha hutan telah menebang tanpa memperhatikan aturan main yang ditetapkan pemerintah sehingga membahayakan kelangsungan pembangunan berhubung dengan jumlah kayu yang dipasok keindustri kayu dihawatirkan semakin turun jumlahnya. Jadi disamping setiap kegiatan itu memiliki biaya yang sungguh-sungguh harus dibayar sendiri (internal cosh), ternyata mereka juga menciptakan biaya yang harus dipikul orang lain (Eksternal Cost). Oleh kaena itu, biaya lingkungan adalah riil atau nyata dan harus diperhitungka dalam kegiatan pembangunan.

BAB I.I. Problematika Corporate Sosial Responsibility (CSR)
Betapa besar pengaruh dunia bisnisterhadap denyut nadi perikehidupan masyarakat kian hari kian terasa. Kepada mereka terhampar harapan besar untuk mengalirnya produk ataupun jasa yang kian berkualitas dan terciptanya lapangan kerja baru. Dengan kata lain kehadiran mereka mengusung obsesi berupa kehidupan dan taraf hidup yang lebih baik bagi banyak orang. David C. Kohen, Profesor Sekolah Bisnis Harvad, mengatakan dalam bukunya When Corporation Rule the World yang dikutip oleh Harmanto Edy Djatmiko dalam majalah SWA edisi 19 Desember 2005 bahwa dunia bisinis selama setengah abad terakhir telah bertriwikrama menjadi institusi paling berkuasa di planet ini. Kekuasaan pelaku bisnis yg begitu dominan tersebut mau tidak mau pasti mengandung risiko yg tidak kecil karena sepak terjang mereka terutama perusahaan yang telah meraksasa akan member dampak signifikan terhadap kualitas tidak saja manusia sebagai individu dan kelompok, juga terhadap lingkungan alam di jagat raya ini. Fenomena inilah yang kemudian memunculkan diskursus atau wacana tentang tanggung jawab sosial perusahaan atau corporate social responsibility (CSR), ada yang menyebutnya corporate citizenship, bahkan sekarang ini ada yang menyebutnya sebagai corporate philanthropy.
Sepanjang yang dapat ditangkap kesan yang muncul tentang corporate social responsibility atau tanggung jawab sosial perusahaan selama ini adalah berupa aksi-aksi bagi sumbangan untuk kaum miskin, korban bencana alam, pemberantasan penyakit menular, atau pendidikan anak kolong dan aktivitas lainnya yang mirip dengan itu. Sepertinya pelaku bisnis melakukannya hanya sebagai kewajiban akibat tekanan pihak lain atau hanya sekadar basa-basi dan apa yang dibuat itu untuk kepentingan publikasi karena ditampilkan di televisi yang dilengkapi dengan iklan testemoni. Tampaknya praktik CSR itu ekspresi kepedulian yang sengaja “diumumkan”. Jadi perusahaan melakukan CSR itu lebih banyak karena kesungkanan ataupun basa-basi. Belum banyak pelaku bisnis yang memaknai CSR tersebut sebagai sesuatu yang strategis sehingga tidak menempatkannya dalam jantung strategi perusahaan. Masih banyak yang menganggapnya sebagai liabilitas daripada aset yang akan menjadi daya dukung keunggulan dalam bersaing.
Begitu pentingnya CSR bagi perusahaan terutama yang sudah berkelas multinasional ditegaskan oleh Craig Smith. Dia menawarkan pendekatan yang lebih anyar tentang CSR berupa The New Corporate Philantropy. Menurutnya aktivitas CSR harus disikapi secara strategis dengan melakukan aligment inisiatif CSR dengan strategi perusahaan – pembentukan budaya organisasi perumusan visi, misi, dan tujuan bisnis pengambilan isu yang relevan dengan produk inti dan pasar inti, membangun identitas mereka bahkan menggaet segmen pasar yang baru dan memporakporandakan pesaing. Michael Porter yang mahaguru strategi itu juga memilik perspektif yang sama tentang CSR. Dia meyakinkan para pelaku bisnis bahwa aktivitas CSR harus menjadi jantung strategi perusahaan dan ketika itu dilakukan dengan sunguh – sungguh akan menjadi sumber keunggulan bersaing yang sangat powerpul. Selanjutnya Philip Kotler dan Nancy Lee dalam bukunya Corporate Social Responsibility, Doing the Most Good for Your Company and Your Cause mengatakan bahwa kegiatan CSR mestilah berada pada koridor strategi perusahaan yang diarahkan untuk meraih bottom-line business goal, di antaranya mendongkrak penjualan dan segmen pasar; membangun potitioning merek; menarik, memotivasi, serta membangun loyalitas pegawai mengurangi biaya operasional sampai dengan membuat image korporat di pasar modal. Kotler dan kawannya itu sejatinya ingin mengatakan bahwa CSR tidak lagi hanya sebagai hiasan apalagi aktivitas yang termarginalkan, namun sudah merupakan nyawa perusahaan. Tulisan ini antara lain ingin menguraikan perkembangan konsep tanggung jawab sosial perusahaan dan betapa pentingnya para pelaku bisnis memahami tanggung jawab tersebut. Di samping itu, akan diulas pula pendekatan, manajemen, serta manfaat CSR.

BAB II. ISI 
 - Contoh Kasus  
          Bahwa apabila terdapat perusahaan yag menimbulkan kerusakan bagi orang lain diwajibkan melakukan pembayaran untuk kerugian yang ditimbulkannya dan sistem harga bekerja secara sempurna. Contoh yang diambil adalah kaitan anatara perusahaaan peternakan dan perkebunan sayur mayor yang bekerja berdampingan atau bertetangga dimana sapi yang dipelihara peternak itu merusak tanaman sayur mayor milik petani tetangganya tersebut. Kemudian kita anggap bahwa tidak ada pagar yang memisahkan kedua bidang tanah tempat usaha mereka itu sehingga meningkatkan jumlah ternak sapi yang dipelihara peternakakan berarti meningkatnya kerusakan tanaman sayuran petani. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah peternak akan menambah jumlah ternaknya bila ia diwajibkanuntuk membayar biaya kerusakan tanaman sayur untuk peternak akan mempertimbangkan antara tambahan biaya termasuk bertambahnya kerusakan tanaman sayur dan tambahan manfaat yang akan diterimanya.seperti biasanya bila tambahan biaya kan lebih besar dari pada tambahan manfaat( penerimaan) maka peternak tersebut tidak akan menambah jumlah sapi ternaknya.

 BAB II.I  SISTEM PENENTUAN HARGA DENGAN TANPA KEWAJIBAN MEMBAYAR KERUSAKAN ATAU KERUGIAN


Sekarang kita ambil kasus walaupun penentuan harga juga berjalan mulus, tetapi tidak kewajiban terhadap perusahaan yang menimbulkan kerusakan untuk melakukan pembayaran. Ssenagai akibatnya alokasi sumberdaya juga tidak berunah tetapi tetap seperti kalau ada kewajiban perusaan penimbul kerugian membayar kerugian tersebut. Kembali pada contoh antara peternak dan petani kita, akan melihat petani sayur menderita rugi yang semakin besar dengan semakin banyanya jumlah sapi yang diternakan. Dan, hal ini petani suatu dapat pula berusaha untuk menekan jumlah sapi yang dipelihara peternak agar kerugian yang dideritanya berkurang. Dengan kata lain dapat pula dianggap bahwa peternak akan menambah jumlah ternak sapinya apabila petani sayur setuju untuk melakukan pembayaran. Akhirnya perlu dipahami bahwa apakah perusahaan yang menimbulkan kerusakan diwajibkan untuk mengganti kerugian atau tidak tanpa adanya penegasan hak tidak akan ada transaksi pasar untuk mengalihkan pembayaran ataupun untuk mengkompromikannya.
Sejauh ini pembicaraan kita telah menggunakan anggapan bahwa transaksi pasar tidak memerlukan biaya. Ini jelas merupakan bahwa transaksi pasar tidak memerlukan biaya. Ini jelas merupakan asumsi yang tidak realistis. Agar dapat terjadi transaksi pasar adalah perlu untuk dengan siapa transaksi itu akan diadakan kemudian memberi tahu bahwa seseorang akan melakukan pembicaraan, dilanjutkan dengan perundingan akan melakukan Dalam bagian terdahulu telah dibicarakan tentang pengatur kembali hak penguasaan akan terjadi buila hal itu akan membawa peningkatan dalam nilai produksi. Dengan dimasukkannya biayatransaksi dalam analisis kita, maka jelaslah bahwa pengaturan kembali hak tersebut hanya akan diusahakan bila kenaikan nilai produksi lebih tinggi daripada biaya yang dikeluarkan untuk adanya transaksi dan pengaturan kembali hak.
Ada bentuk organisasi ekonomi lain yang memungkinkan untuk mencapai hasil yang sama tetapi dengan biaya yang relative lebih rendah dibanding dengan yang dihasilkan oleh mekanisme pasar. Alternatif tersebut adalah perusahaan yang seringkali bekerja secara admministratif tanpa lewat suatu organisasi ekonomi. Ini tentunya tidak selalu berarti bahwa biaya administrasi untuk mengorganisasikan suatu transaksi lewat suatu perusahaan selalu lebih rendah daripada transaksi pasar. Bila kontrak itu sangat sulit untuk dibuat dan melukiskan hal-hal yang disetujui dan tidak disetujui oleh berbagai pihak; misalnya mengenai macam bau atau suara kontrak yang dibuat tentu cukup panjang dan meliputi dokumen-dokumen yang sangat penting; dan kalau mungkin kontrak itu akan bersifat jangka panjang.
Demikian pula perusahaan bukannya merupakan satu-satunya jawaban terhadap masalah tersebut. Biaya administrasi untuk mengorganisasikan transaksasi dalam suatu perusaahaan akan tinggi pula, dan khususbbta apabila banyak macam kegiatan yangdiusahakan di bawah pengawasan suatu organisasi tunggal. Sebagai misal adalah timbuknya gangguan karena asap pabril yang mempengaruhikehidupan dan kegiatan banyak orang, sehingga memecahkan masalah tersebut dalam suatu administrasi perusahaan tunggal.pembicaraan mengenai dampak yang merugikan ini masih belum memadai, tetapi paling tidak telah menjelaskan masalah yang berkaitan dengan bagaimana memilih cara pengaturan yang tepat secara sosial dalam kaitannya dengan dampak kegiatan yang merugikan masyarakat. Dalam kesimpulannya Ronald Coase menyatakan bahwa sebaliknya campur tangan pemerintah dikurangi, tapi dalam batas mana sulit untuk ditentukan, karena batas itu harus didasarkan pada pengamatan yang teliti terhadap hasil penyelesaian masalah dengan berbagai cara


BAB II. II PERKIRAAN BIAYA PENCEMARAN

Dalam penentuan pengukuran biaya dan manfaat dari usaha penanggulangan manfaat bisa diperkirakan secara langsung maupun tidak langsung. Misal, adanya udara kotor karena asap pabrik sebesar $200/orang dalam 1 tahun. Biaya ini harus dimasukan dalam manfaat yang timbul dari adanya pencegahan pencemaran. Biasanya biaya yang di keluarkan perusahaan akan lebih murah dibanding kerugian yang di derita masyarakat. Biaya pencemaran yang tidak dapat di ukur dengan mudah disebut intangible atau non economic cost. Misal, pencemaran pada pelabuhan tanjung mas di semarang. Biaya langsungnya berupa biaya pengalihan orang dan peralatan dari penangkapan ikan kekegiatan lain. Dan biaya tidak langsung berupa biaya hilangnya kesempatan rekreasi, pengail ikan, penelitian biologi laut.
Salah satu cara menentukan pilihan dalam pencegahan pencemaran adalah dengan melihat tingkat harga. Namun bila kita tidak mengetahui harga pasar untuk kerugian polusi maka dapat ditempuh dengan menggunakan harga barang lain yaitu mengukur besarnya nilai udara bersih dan nilai air bersih melihat ketersediaan membayar seseorang untuk perumahan di daerah yang tidak tercemar. Stelah itu kita terapkan pola pengawasan atau pencegahan pencemaran optimal. Misalnya dengan pengaturan langsung berupa larangan pemerintah untuk melarang timbulnya pencemaran dan mengenakan hukum atas dasar undang-undang bila di langgar. Namun kelemahannya apabila terdapat pemeriksaan petugas alat pencemaran di manfaatkan tapi kalo tidak ada pemeriksaan alat pencemaran tidak dipakai. Cara lain yaitu dengan pemberian subsidi terhadap penekanan jumlah pencemaran atau mensubsidi pembelian alat-alat penanggulangan pencemaran. Apabila terjadi pelanggaran maka beban pembayaran (ability to pay) sebaiknya di distribusikan secara tepat sasaran. Seandainya terdapat perusahaan A dan B yang menghasilkan limbah sejenis. A dapat mengurangi pencemaran sebanyak 10% dan Bdapat mengurangi pencemaran 10% dengan biaya 40 juta. Maka B mempunyai kemampuan membayar lebih besar sehingga B saja yang mengurangi pencemaran 10% atau membayar 10 juta kepada A.
  
BAB III. KESIMPULAN

Dalam hal – hal tertentu pemerintah dapat dikatakan sebagai super perusahaan. Karena ia dapat mempengaruhi penggunaan faktor produksi dengan keputusan – keputusan administratif. Lebih dari itu pemerintah dapat menghapus pasar secara keseluruhan. Sedangkan perusahaan tidak mungkin dapat mengerjakan hal tersebut. Karena perusahaan harus membuat persetujuan pasar dengan para pemilik faktor produksi yang digunakan oleh perusahaan tadi. Dengan demikian nyata bahwa pemerintah memiliki kekuatan yang memungkinkannya untuk dapat menyelesaikan suatu pekerjaan dengan biaya lebih rendah dari pada yang dikeluarkan oleh pihak swasta. Tetapi jangan lupa bahwa mesin organisasi pemerintah tidak tanpa biaya. Melainkan juga sangat mahal biayanya. Seringkali pula organisasi pemerintah mengambil keputusan yang tidak efisien karena adanya tekanan politik dari golongan tertentu. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa campur tangan pemerintah secara langsung tidak selalu memberikan hasil yang lebih baik dari pada bila pemecahan masalah pencemaran itu diserahkan kepada mekanisme pasar atau perusahaan swasta. Khususnya untuk pencemaran lingkungan karena asap pabrik, dapat diatasi dengan peraturan administrasi pemerintah dan terlalu mahal jika diserahkan kepada swasta karena mencakup terlalu banyak orang sekaligus resiko.
Tahap industrialisasi bukan berarti sektor pertanian di tinggalkan melainkan di kembangkan terutama produksi pangan dan bahan mentah untuk menunjang pengembangan industry. Dengan demikian pembangunan sebaiknya diusahakan tanpa merusak lingkungan dan menglola SDA secara bijaksana dalam menopang pembangunan jangka panjang seperti pada UU no 4 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup dan khusus mencegah pencemaran dari kegiatan industri.
  Pokok-pokok UU lingkungan hidup ialah:  
  1.  Pengelolaan lingkungan hidup berasaskan kelestarian kemampuan lingkungan yang serasi dan seimbang guna pembangunan yang berkesinambungan. 
  2. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berkewajiban memelihara lingkungan hidup dan mencegah serta menanggulangi pencemaran.
  3. Usaha mengembangkan lingkungan hidup tidak berlangsung dalam keadaan terisolasi melainkan kepentingan hidup bangsa.


Selanjutnya dalam pasal 16 UULH dikemukakan bahwa perlindungan lingkungan hidup di lakukan berdasar baku mutu lingkungan yang diatur UU. Penetapan baku mutu lingkungan meliputi penetapan criteria kualitas lingkungan hidup maupun kualitas limbah. Untuk itu telah terbit tentang AMDAL (analisis mengenai dampak lingkungan). Dalam UULH terdapat sanksi perdata dan pidana. Sanksi perdata berkaitan dengan ganti rugi kepada penderita serta berkewajiban bagi pembuat pencemaran untuk membayar biaya pemulihan lingkungan. Sedangkan sanksi pidana meliputi denda Rp 100 juta atau penjara selama 10 tahun. Demikianlah uraian mengenai masalah biaya eksternalitas yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah dan pihak perorangan.


BAB IV. DAFTAR PUSTAKA
  •             Harsoprayitno Sugiharto. MSc. (2006). Biaya Sosial yang ditimbulkan perusahaan dalam wujud corporate sosial responsibility (CSR). (online). diakses pada tanggal 28 April 2011, dari http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/km%20ardana.pdf
  •          Suparmoko, M, Dr. MA. (1995). Ekonomi Sumberdaya Alam Dan Lingkungan (Suatu Pendekatan Teoritis), Ed.2. BPFE: Yogyakarta.

0 komentar :

Posting Komentar

tinggalkan jejak anda::::

Sekapur Sirih :::

Saya harus mengatakan bahwa isi blog ini mencerminkan pengetahuan dan kebijaksanaan kolektif.
Persis yang dikatakan oleh Goethe (
Johann Wolfgang von Goethe) dalam percakapannya dengan ilmuwan Swiss, Frederic Soret, Pada tanggal 17 Februari 1832 ::
"Siapakah saya ini? Apa yang telah saya lakukan? Saya telah mengumpulkan dan memanfaatkan segala sesuatu yang telah saya dengar dan saya alami. Karya saya telah disebarluaskan oleh ribuan orang yang berbeda-beda--> orang bijak dan bodoh, jenius dan dungu, tua dan muda. Mereka semua menawari saya keahlian dan cara hidup mereka masing-masing. Sering kali, saya ambil hasil-hasil yang dikembangkan orang lain. Karya saya adalah karya kolektif, dan membawa nama Goethe."