Data Sakernas empat tahun terakhir (BPS 1997-2000) menunjukkan bahwa jumlah penganggur lulusan setiap jenjang pendidikan meningkat dari 4 juta orang pada tahun 1997 menjadi 6 juta pada tahun 2000. Jumlah utang swasta Indonesia per September
tahun 2000 tercatat 68,2 miliar dollar AS. Puncak krisis yang menimpa Indonesia menyebabkan kepanikan dan kerusuhan dimana-mana. Harga-harga naik selangit, dollar menggila, penjarahan dimana-mana, kelangkaan pangan, rush besar-besaran terhadap perbankan. Dan situasi tersebut berjalan cukup lama.
Krisis moneter 1997-98 jelas lebih dulu dan lebih mudah memukul telak sektor ekonomi modern./ Terlebih perusahaan yang berutang besar dalam nilai nominal dolar, yen, atau valuta asing lainnya. Krisis moneter yang dimulai dengan depresiasi rupiah dan apresiasi dolar sangat memukul perusahaan-perusahaan yang berutang dolar atau valuta asing lain dan memukul impor karena harga rupiah barang-barang impor melonjak sesuai apresiasi dolar. Namun karena hampir semua sektor masih bersifat dualistik, sektor tradisional/ekonomi rakyat tidak terpengaruh krismon, atau terpengaruh secara tidak berarti. Dampak negatif krisis moneter terhadap ekonomi rakyat dapat dihindari atau disikapi sedemikian rupa hingga tidak dirasakan dampaknya, dengan cara-cara atau ”seni” khas ekonomi rakyat, yang dikenal dengan istilah strategi penyikapan (coping strategy) baik dalam produksi, perilaku berkonsumsi, atau sekedar strategi bertahan hidup (survival strategy).
tahun 2000 tercatat 68,2 miliar dollar AS. Puncak krisis yang menimpa Indonesia menyebabkan kepanikan dan kerusuhan dimana-mana. Harga-harga naik selangit, dollar menggila, penjarahan dimana-mana, kelangkaan pangan, rush besar-besaran terhadap perbankan. Dan situasi tersebut berjalan cukup lama.
Krisis moneter 1997-98 jelas lebih dulu dan lebih mudah memukul telak sektor ekonomi modern./ Terlebih perusahaan yang berutang besar dalam nilai nominal dolar, yen, atau valuta asing lainnya. Krisis moneter yang dimulai dengan depresiasi rupiah dan apresiasi dolar sangat memukul perusahaan-perusahaan yang berutang dolar atau valuta asing lain dan memukul impor karena harga rupiah barang-barang impor melonjak sesuai apresiasi dolar. Namun karena hampir semua sektor masih bersifat dualistik, sektor tradisional/ekonomi rakyat tidak terpengaruh krismon, atau terpengaruh secara tidak berarti. Dampak negatif krisis moneter terhadap ekonomi rakyat dapat dihindari atau disikapi sedemikian rupa hingga tidak dirasakan dampaknya, dengan cara-cara atau ”seni” khas ekonomi rakyat, yang dikenal dengan istilah strategi penyikapan (coping strategy) baik dalam produksi, perilaku berkonsumsi, atau sekedar strategi bertahan hidup (survival strategy).
Ketika terjadi devaluasi terhadap bath. Mata uang Thailand pada juli 1997. Maka mata Indonesia terkena imbasnya. Sehingga terjadilah krisis moneter yang meruntuhkan perekonomian Indonesia secara menyeluruh. Pemerintah pada saat itu mengambil kebijakan seperti injeksi modal, upaya – upaya rekapitulasi, restrukturisasi perbankan dan korporasi – korporai. Tetapi tindakan ini menjadi percuma, sektor financial dan korporasi masih terpuruk.
Usaha kecil yang merupakan ciri ekonomi rakyat tetap eksis dan tahan goncangan krisis. Kondisi ini membuat semua komponen bangsa sadar. Bahwa ekonomi rakyat yang kurang mendapat perhatian dari institusi pemegang kebijakan. Ternyata dapat mengawal perekonomian Indonesia, hingga terhindar dari kehancuran total.
Berdasarkan hasil kajian Mubyarto (2000). Menyimpulkan bahwa dampak negative krisis moneter terhadap ekonomi rakyat dapat dihindari. Dengan cara atau strategi penyikapan baik dalam produksi, prilaku konsumsi, maupun sekedar strategi bertahan hidup
Perekonomian Indonesia 2001 sampai 2003
Selain kewajiban membayar bunga obligasi, pemerintah juga berkewajiban untuk membayar bunga SBI (Sertifikat Bank Indonesia) kepada lembaga-lembaga perbankan yang menempatkan dana rakyat di Bank Indonesia. Pada tahun 2002 besar bunga SBI 17 %. Penempatan dana tersebut dilakukan oleh bank-bank pemerintah maupun bank-bank swasta. Dana masyarakat yang ditabung di lembaga perbankan ternyata lebih banyak disimpan di Bank Indoenesia. Sehingga fungsi intermediasi perbankan saat itu lumpuh
Hal itu terlihat dengan jelas pada LDR lembaga perbankan konvensional yang masih sangat rendah. Pada tahun 2001 – 2003, LDR bank konvensional berkisar sekitar 30 – 40 %. Ini berarti bahwa hanya 30-40 % saja tabungan masyarakat yang disalurkan, padahal sektor riel mengharapkan bantuan modal. Sisanya 60 – 70 % terperangkap pada kegiatan riba yang jelas menjadi beban pemerintah yang pada gilirannya menjadi beban rakyat.
Lembaga perbankan yang menempatkan uangnya di Bank Indonesia, akan mendapatkan bunga SBI. Pada tahun 2001 – 2002, bunganya mencapai 17 % . Pada saat itu dana bank konvensional yang disimpan di SBI mencapai Rp 500 Trilyun. Dengan demikian, pemerintah berkewajiban membayar bunga SBI sebesar 17 % x Rp 500 triliun, yaitu Rp 85 Trilyun, untuk satu tahun. Uang sebesar ini jelas menjadi beban APBN. Oleh karena itu tak mengherankan jika APBN dari tahun ke tahun terus mengalami defisit. Kondisi ini berlangsung selama hampir tiga tahun. Untunglah sejak tahun 2003 bunga SBI mengalami penurunan secara bertahap. Pada awal tahun 2004 bunganya berkisar 8-9 %. Meskipun demikian, angka ini ini tetap menggerogoti uang negara.
Perlu dicatat dan menjadi keprihatinan besar di sini adalah, bahwa pembayaran bunga obligasi dan bunga SBI dibebankan kepada rakyat. APBN yang seharusnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat, malah digunakan untuk membantu bank-bank raksasa.
Lebih dari itu, kewajiban membayar bunga obligasi dan bunga SBI telah membuat APBN defisit. Untuk mengatasi defisit APBN pemerintah terpaksa berhutang ke lembaga – lembaga internasional. Padahal hutang Indonesia telah mencapai titik yang membahayakan ketika itu. Apabila pada tahun 2002 saja, hutang Indonesia total Rp 1401 Trilyun, (hutang luar negeri Rp 742 Trilyun, hutang dalam negeri sebesar Rp 659 Trilyun). Maka pada tahun 2003, hutang Indonesia telah mencapai Rp 2000 Trilyun. Jika kita hanya mampu membayar hutang tersebut Rp 2 Trilyun setahun, berarti hutang luar negeri itu baru lunas lebih dari seribu tahun.
Selain meninggalkan beban hutang yang besar bagi generasi mendatang, pemerintah juga terpaksa menaikkan harga barang-barang strategis seperti harga BBM yang berkali-kali dinaikkan sepanjang tahun 2001-2003. Hal ini dimaksudkan untuk menambah income negara dalam rangka memenuhi APBN yang defisit. Tarif dasar listrik dan telephone juga ketika itu terpaksa dinaikkan untuk menambah income negara mengatasi defisit APBN. Inilah akibat berantai dari sistem yang terjadi pada saat itu dalam sistem perekonomian Indonesia.
Pajak juga dinaikkan, tetapi banyak dikuras oleh pembayaran bunga. Kasihan rakyat, mereka dizalimi hanya untuk menyumbang bank-bank rekap. Ironisnya lagi, tanpa berbuat apa-apa, bank rekap bergembira ria menerima riba sebesar Rp 61, 2 Trilyun dari pemerintah. Pada tahun 2001 dan ini berlangsung terus, meskipun mengalami penurunan sampai tahun 2003.
Belum optimalnya kinerja ekspor waktu itu, tidak lepas dari perkembangan kondisi yang terjadi di dalam maupun luar negeri. Di sisi eksternal, melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia terutama di negara-negara tujuan ekspor utama membuat permintaan terhadap ekspor Indonesia menurun. Kondisi ekonomi dunia makin runyam setelah terjadi invasi Amerika terhadap irak dan mewabahnya virus SARS. Ditambah lagi, terjadi penurunan harga – harga komoditas utama mengakibatkan ekspor nonmigas mengalami penurunan yang cukup besar. Keadaan tersebut diperburuk oleh adanya penetapan syarat – syarat tambahan bagi produk ekspor Indonesia. Seperti penerapan persyaratan ramah lingkungan dan perlindungan hak-hak konsumen. Sementara dari sisi internal, turunnya ekspor juga dipengaruhi adanya berbagai gangguan produksi dan distribusi. Gangguan itu antara lain disebabkan oleh meningkatnya faktor ketidakpastian berkaitan dengan aksi – aksi mogok buruh, gangguan keamanan, dan masih belum pulihnya fungsi intermediasi perbankan.
Sorotan utama terhadap kinerja perekonomian Indonesia di bawah pemerintahan Megawati ini adalah terus melemah dan merosotnya daya saingekonomi secara keseluruhan. Melemahnya daya saing ekonomi nasional ini bukansaja terjadi pada hampir aspek makro, dan terutama mikro ekonomi. Dengan terusmerosotnya daya saing ekonomi nasional tidaklah mengherankan bahwa pemulihanekonomi di sektor riil terus terseok-seok dan jalan di tempat. Berbagai indikator dayasaing (competitiveness) perekonomian yang dikeluarkan oleh berbagai lembaga internasional mengukuhkan hal tersebut.
Perekonomian Indonesia 2004 Sampai Saat Ini
Pada tahun 2004, Indonesia menambah hutang baru lebih dari 3 milyar dolar AS. Setiap tahun bangsa Indonesia harus menambah hutang, untuk menutupi defisit APBN. Hutang ini jelas menjadi beban yang berat bagi generasi Indonesia mendatang.
Beberapa permasalahan ekonomi Indonesia yang masih muncul saat ini dijadikan fokus program ekonomi 2008 – 2009 yang tertuang dalam Inpres Nomor 5 tahun 2008 yang memuat berbagai kebijakan ekonomi yang menjadi target pemerintah yang dapat dikelompokkan ke dalam 8 bidang yaitu:
a) Investasi,
b) Ekonomi makro dan keuangan,
c) Ketahanan energi
d) Sumber daya alam, lingkungan dan pertanian
e) Pemberdayaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM)
f) Pelaksanaan komitmen masyarakat ekonomi ASEAN
g) Infrastruktur
h) ketenagakerjaan dan ketransmigrasian
Realisasi investasi yang telah dikeluarkan oleh BKPM berdasarkan Izin Usaha Tetap PMDN pada periode 1 Januari s/d 31 Desember 2007 sebanyak 159 proyek. dengan nilai realisasi investasi sebesar Rp. 34.878,7 miliar (34,88 triliun Rupiah). Sedangkan realisasi Investasi yang telah dikeluarkan oleh BKPM berdasarkan Izin Usaha Tetap PMA (FDI) pada periode 1 Januari s/d 31 Desember 2007 sebanyak 983 proyek dengan nilai realisasi investasi sebesar US$. 10.349,6 juta (US$ 10,34 milyar).
Dibandingkan dengan FDI global yang selama 2007 mencapai rekor sebesar US$ 1.500 milyar dan FDI yang masuk ke Amerika Serikat sebesar US$ 193 miliar. Nilai FDI yang masuk ke Indonesia masih sangat rendah yaitu 0,66% terhadap FDI dunia dan 5,18% terhadap FDI ke Amerika Serikat. Walau demikian, masuknya FDI ke Indonesia pada tahun 2007 ini jauh lebih baik dibandingkan dengan masa puncak pra krisis yaitu tahun 1996 – 1997 yang hanya mencapai US$ 2,98 miliar (1996) dan US$ 4,67 miliar (1997). Kebijakan ekonomi makro dan keuangan
dari sisi fiskal. Pemerintah menerapkan APBN yang cukup baik yaitu dengan sedikit ekspansif walau masih sangat berhati-hati.
Hal ini terlihat dari defisit RAPBN tahun 2009 sebesar Rp 99,6 triliun atau 1,9 persen dari PDB (Kompas 15 Agustus 2008), walau defisit APBN masih dapat ditolerir sampai angka 3% (berdasarkan golden rule) . Pada tahun 2009 anggaran yang digunakan untuk belanja modal tercatat sebesar Rp 90,7 triliun lebih besar dari belanja barang sebesar Rp 76,4 triliun. Total belanja pemerintah pada tahun 2009 meningkat menjadi sebesar Rp1.022,6 triliun yang diharapkan lebih berperan dalam menstimulus ekonomi untuk mencapai target pertumbuhan di atas 6,5%.
Indonesia berhasil bertahan dari krisis, karena memiliki komoditas primer (produk pertambangan dan perkebunan) dalam jumlah besar. Sementara itu, ekspor tidak terlalu menggantungkan diri pada produk-produk industri pengolahan. Barang manufaktur adalah yang paling sensitif terkena imbas krisis ekonomi global. Itulah sebabnya Korea Selatan, Hongkong, Taiwan, dan Singapura mengalami kontraksi ekonomi secara signifikan. Namun sebaliknya, disaat perekonomian global mulai pulih (recovery). Elastisitas respons perekonomian Indonesia tampaknya juga tidak akan besar. Jadi, ketika terjadi krisis ekonomi global Indonesia meresponnya dengan lambat, sedangkan tatkala terjadi pemulihan responnya pun lambat. Ini terjadi karena karakteristik ekspor yang tidak terlalu bertumpu pada produk-produk manufaktur.
Tahun baru 2010 dibuka dengan pengumuman Departemen Keuangan, bahwa APBN-P 2009 telah mengalami sisa sebesar Rp 38 triliun. Berarti, defisit anggaran yang semula direncanakan Rp 129,8 triliun (2,4 persen terhadap Produk Domestik Bruto Indonesia sebesar Rp 5.400 triliun), ternyata hanya terealisasi Rp 82,7 triliun. Jadi sebenarnya kenyataan masih tersisanya dana APBN 2009 yang tidak terserap Rp 38 triliun, bukanlah sebuah keberhasilan. Meski dapat menekan lonjakan utang pemerintah, namun juga terjadi hilangnya kesempatan untuk menciptakan 100.000 lapangan pekerjaan baru.
Indonesia telah berhasil melewati tahun krisis finansial global 2009 dengan baik. Pertumbuhan ekonomi mencapai 4,5 persen, atau hanya kalah dibandingkan China dan India. Beberapa lembaga internasional bahkan mulai menempatkan Indonesia ke dalam kelompok BRIC (Brasil-Rusia-India-China), yakni klub emerging markets yang kombinasi PDBnya diperkirakan akan melampaui kombinasi Amerika Serikat dan Inggris, pada tahun 2030. Proyeksi ini pertama kali dikemukakan oleh bank investasi terkemuka Goldman Sachs pada tahun 2000. Meski demikian, hadirnya era ACFTA (Asean-China Free Trade Agreement) akan menjadi ganjalan serius bagi Indonesia untuk dapat mencapai pertumbuhan ekonomi 5,5 persen, sebagaimana ditargetkan dalam APBN.
Datangnya era ACFTA per 1 Januari 2010 merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Sesungguhnya perekonomian Asean tidak cukup memiliki kemampuan untuk menghadapi China. Bukan cuma Asean, sebenarnya praktis seluruh dunia pun mengalami kesulitan untuk dapat bersaing melawan China secara adil (fair). Karena kenyataannya, daya saing produk-produk China, khususnya di sektor manufaktur, antara lain juga didukung oleh lemahnya mata uang renminbi.
0 komentar :
Posting Komentar
tinggalkan jejak anda::::